Guna meningkatkan pelayanan penanganan kasus Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) atau kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring, PLATO Foundation, bekerja sama dengan UNICEF menggelar kegiatan lokakarya atau workshop peningkatan layanan pencegahan dan penanganan kasus OCSEA pada wilayah Provinsi Jawa Timur (Jatim) di Surabaya, Selasa (19/9/2023).
Workshop yang bertajuk ‘Integrasi Layanan Pencegahan dan Respon Kekerasan dan Eksploitasi Seksual pada Anak di Ranah Daring atau OCSEA’ ini, diikuti oleh sejumlah 36 peserta yang berasal dari Penyedia Layanan Perlindungan Anak maupun Aparat Penegak Hukum (APH) pada wilayah Provinsi Jatim. Adapun wilayah Intervensi di Provinsi Jatim pada program SETARA-OCSEA yaitu, Kota Surabaya, Kabupaten Jember dan Kabupaten Trenggalek.
Selain bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pada upaya pencegahan dan penanganan OCSEA yang terintegrasi, workshop ini juga dimaksudkan untuk memperkuat kolaborasi antar layanan dalam upaya perlindungan anak serta menciptakan keamanan online bagi anak.
Children Specialist UNICEF, Naning menyampaikan, pihaknya sangat berterima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya pada Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) karena bersedia mendukung suksesnya acara workshop ini. Dijelaskannya, program ini juga atas kerja sama dengan Kementerian PPPA di tingkat nasional.
“Program SETARA-OCSEA ini dilaksanakan di tiga provinsi di Indonesia, yakni di Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Kami memilih tiga provinsi ini karena merupakan tiga wilayah yang memiliki populasi besar,” sebutnya.
Lebih lanjut, Naning menerangkan, alasan dipilihnya Jatim menjadi salah satu wilayah program SETARA-OCSEA adalah karena secara data akses internet pada anak-anak paling tinggi. Menurut Naning, di era digital sekarang ada kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang membutuhkan media sosial dalam kesehariannya, seperti selama pandemi Covid lalu yang mengharuskan sekolah dilakukan secara daring. Oleh karena itu, dampak negatif media digital bagi anak harus diwaspadai.
“Kebiasaan pembelajaran secara daring pada anak ini yang dapat memudahkan anak-anak diketahui identitas datanya. Dan itu menjadi peluang yang berisiko bagi si anak. Kalau sudah menjadi target sasaran, anak akan didekati melalui medsos, dan mulailah di grooming untuk dibimbing melakukan pelecehan seksual melalui media digital,” terangnya.
Melalui workshop ini, Naning berharap ke depan akan ada model dari Kementerian PPPA selaku kementerian yang bertanggung jawab dalam perlindungan anak, supaya mengembangkan dan direplikasi menjadi program nasional.
“Bagi para orang tua, keluarga, anak-anak, maupun para penyedia layanan juga melihat dampak negatif era digital ini menjadi sebuah fenomena yang harus fokus diwaspadai. Harapannya para penyedia layanan khususnya APH juga memahami pencegahan kasus OCSEA. Semoga mereka bisa memberikan perlindungan yang baik kepada anak-anak termasuk mungkin di dalam penyuluhan-penyuluhan hukum,” harap Naning.
Sementara itu, Direktur PLATO Dita Amalia menjelaskan, Yayasan PLATO adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang isu sosial, pendidikan, maupun kesehatan. Dipaparkannya, PLATO Foundation memiliki tiga program besar yang dijalankan. Yaitu, pertama pencegahan dan pemberdayaan masyarakat, kedua rehabilitasi sosial untuk korban raksa, dan ketiga lembaga bantuan hukum, pendampingan hukum untuk anak korban raksa, anak dan perempuan yang berkonflik dengan hukum.
“Salah satu yang ditangani dalam tiga program itu adalah program SETARA-OCSEA yang didukung oleh UNICEF ini,” kata Dita.
Dita berharap, dari workshop ini ke depan akan ada langkah strategis dan aksi supaya kasus OCSEA bisa ditangani secara tepat dan cepat. Sehingga nanti ada layanan pencegahan dan penanganan OCSEA secara terintegrasi.
“Dalam workshop kita membahas bagaimana sih agar kasus OCSEA ini bisa diangkat, para pelakunya bisa ditindak. Apalagi ada beberapa undang-undang ya, UU TPKS, UU Perlindungan Anak, dan UU ITE. Selain itu juga dalam workshop ini, akan ada langkah untuk pelatihan-pelatihan bagi penyedia layanan dan APH untuk memperkuat mekanisme penanganan lewat SOP di Kota Surabaya, Trenggalek, dan juga Jember,” tuturnya.
Di sisi lain, Perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Timur (DP3AKB Jatim) Anton Yuwono dalam sambutannya menyampaikan, kejadian kekerasan yang menimpa anak di tahun 2023 ini ada 181 pengaduan yang masuk dan ditangani. Dan tahun 2022, sampai Desember akhir, ada 175 kasus pengaduan.
“Tahun 2023 sekarang masih pertengahan September saja sudah ada 181 kasus yang tetap didominasi oleh korban anak. Dari jumlah itu, mayoritas yang paling banyak, adalah kasus KDRT, kekerasan fisik, penelantaran, ataupun pemenuhan hak anak yang tidak layak,” pungkas Anton.
Sebagai informasi, kegiatan workshop ini juga menghadirkan beberapa orang narasumber yang berasal dari, Kepolisian Daerah Jawa Timur, DP3AKB Jatim , dan End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT).