Mengenal 4 Tahap Siklus Kekerasan pada KDRT

  • Jumat, 28 Februari 2025 - 09:54:50 WIB
  • Administrator

Oleh: Aghnis Fauziah, S.Psi., M.Psi, Psikolog

Siklus kekerasan sering kali melewati empat tahap utama: Ketegangan Situasi (Tension Building), Kekerasan Terjadi (Incident), Rekonsiliasi (Reconciliation), dan Kekerasan Dilupakan (Calm). Perilaku kekerasan dapat meningkat dari satu siklus ke siklus lainnya.

Meskipun tidak terjadi pada semua kasus kekerasan, perilaku kekerasan dalam KDRT dapat mengalami siklus, yang dapat membuat korban semakin bingung dan tersakiti.

Kekerasan tidak terlihat sama untuk semua orang atau dalam setiap situasi. Bahkan dalam hubungan yang sama, perilaku kekerasan dapat berubah dari waktu ke waktu dan, dalam beberapa kasus, perilaku tersebut mungkin tampak berhenti sebelum muncul lagi. Ini sering disebut sebagai siklus kekerasan.

4 Tahap Siklus Kekerasan

Siklus kekerasan adalah sebuah konsep yang pertama kali diusulkan pada tahun 1970-an oleh psikolog bernama Lenore E. Walker.

Melalui proses observasi dan wawancara ekstensif dengan para wanita yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Walker mengidentifikasi beberapa tahapan yang cenderung berulang dalam sebuah hubungan yang penuh kekerasan.

Tahapan siklus kekerasan adalah:

tahap 1: Ketegangan Situasi (Tension Building)

tahap 2: Kekerasan Terjadi (Incident)

tahap 3: Rekonsiliasi (Reconciliation)

tahap 4: Kekerasan Dilupakan (Calm)

Model siklus kekerasan ini telah menjadi referensi bagi para profesional kesehatan mental, tetapi tidak dimaksudkan untuk mencakup semua kejadian kekerasan.

Tahapan kekerasan tidak selalu terlihat sama untuk semua orang dan tidak menyiratkan bahwa perilaku kekerasan akan "berhenti" sesekali. Sebaliknya, model ini dapat membantu menggambarkan bagaimana perilaku kekerasan dalam hubungan dapat berubah dan berulang dari waktu ke waktu.

Tahapan siklus kekerasan mungkin tidak selalu terjadi dalam urutan yang sama, atau beberapa di antaranya mungkin tidak terjadi dalam beberapa kasus. Pada banyak kasus, kekerasan bisa saja terjadi terus menerus tanpa jeda.

Mungkin juga siklus tersebut melibatkan transisi antara berbagai jenis kekerasan. Misalnya, kekerasan emosional dapat mendominasi tahap membangun ketegangan, rekonsiliasi, dan ketenangan, sementara kekerasan seksual atau fisik dapat meningkat selama tahap insiden.

Ketegangan Situasi (Tension Building)

Selama tahap ketegangan, pelaku kekerasan mulai menunjukkan tanda-tanda kekerasan dan perilaku yang perlahan-lahan meningkat ntensitas dan frekuensinya.

Hal ini mungkin terkait dengan pemicu stres eksternal seperti kesulitan keuangan, tantangan interpersonal di tempat kerja atau lingkungan lain, atau tantangan kesehatan.

Perilaku yang semakin tegang dapat mencakup:

  • Ledakan emosi
  • Mudah tersinggung
  • Ketidaksabaran
  • Mudah marah

Ketika dunia luar mulai terasa semakin tidak terkendali, pelaku kekerasan mulai beralih ke pasangan sebagai cara untuk merasa terkendali lagi.

Ketika ketegangan mulai tampak jelas, pasangannya juga akan merasa semakin cemas. Hal ini dapat membuat mereka bertindak dengan cara tertentu, seperti "berjalan di atas kulit telur" untuk berusaha meredakan ketegangan pasangan yang melakukan kekerasan dan mencegah insiden kekerasan.

Kekerasan Terjadi (Incident)

Pada titik tertentu, ketegangan dari tahap pertama dalam siklus kekerasan mulai pecah. Sehingga berujung pada satu atau lebih insiden kekerasan.

Tahap ini pelaku melakukan kekerasan secara terang-terangan untuk mendapatkan kembali rasa kekuasaan dan kendali.

Insiden kekerasan mungkin terlihat berbeda setiap saat atau dari satu hubungan ke hubungan lainnya. Insiden kekerasan dapat berupa:

  • Intimidasi
  • Ancaman kekerasan
  • Merusak barang-barang di rumah
  • Penghinaan, makian, dan kekerasan verbal lainnya
  • Kekerasan fisik
  • Kekerasan seksual
  • Mempermalukan dan menyalahkan
  • Taktik manipulasi seperti perlakuan diam atau gaslighting
  • Penghinaan
  • Isolasi sosial
  • Kekerasan finansial
  • Pengabaian emosional

Terdapat kemungkinan tahap insiden meningkat dalam setiap siklus. Misalnya, intimidasi dan penghinaan mungkin terjadi pada beberapa siklus pertama, yang kemudian berubah menjadi kekerasan fisik di kemudian hari.

Rekonsiliasi (Reconciliation)

Setelah kejadian kekerasan, pasangan yang melakukan kekerasan mungkin merasa ketegangan mulai mereda. Ini bisa menjadi pengalaman yang berlawanan bagi orang yang menjadi korban kekerasan tersebut.

Setelah ketegangan itu mereda, pelaku mungkin merasa cenderung untuk menebus kesalahan atas perilakunya. Pelaku mungkin meminta maaf, menghujani korban dengan kasih sayang, atau berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Selama fase ini, pasangan yang kasar mungkin tampak benar-benar menyesal dengan perilaku mereka dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Karena korban peduli dengan pelaku, korban cenderung mempercayai apa yang pelaku katakan dan memberinya kesempatan lagi.

Mungkin saja pasangan yang melakukan kekerasan mulai melakukan hal-hal yang mungkin terlihat romantis, mendukung, dan penuh kasih selama tahap rekonsiliasi.

Kekerasan Dilupakan (Calm)

Selama fase tenang, pelaku mungkin akan terus memberikan perhatian. Namun, korban akan melihat pergeseran dari sikap mereka yang awalnya meminta maaf menjadi memaklumi tindakan mereka dengan mencari alasan lain tindakan kekerasan yang dilakukannya.

Selama tahap tenang, perilaku kekerasan disepelekan. Korban mungkin melihat pelaku:

  1. Mengalihkan tanggung jawab atas kekerasan tersebut ("Saya minta maaf, tapi ini semua karena si fulan.")
  2. Membenarkan perilaku mereka ("Jika si fulan tidak melakukan itu, saya tidak akan terlalu marah.")
  3. Gaslighting terhadap korban ("Ini bukan masalah besar.")

Tahap ini bisa terasa membingungkan. Pelaku pada awalnya tampak ingin memperbaiki keadaan, tetapi ia mulai melupakan tindakan kekerasan yang dilakukannya padahal masih meninggalkan dampak bagi fisik atau psikis korban.

Setelah beberapa saat, korban mulai mengalami ketegangan lagi, karena siklus kekerasan dimulai lagi.

Bagaimana cara mengakhiri siklus kekerasan

Menghentikan kekerasan memang tidak mudah. Wajar jika korban merasa takut akan keselamatannya dan keselamatan anak-anaknya.

Wajar juga jika korban merasa tidak memiliki sumber daya untuk keluar dari situasi tersebut. Ini semua adalah situasi umum yang mungkin dimanfaatkan oleh banyak pelaku untuk membuat korban tetap tinggal bersamanya.

Dalam kasus kekerasan emosional, korban mungkin belum menyadari bahwa korban berada dalam siklus kekerasan.

Tetapi korban mampu meninggalkan hubungan tersebut dengan cara mulai mengidentifikasi perilaku yang tidak dapat ditoleransi.

Tips berikut dapat membantu korban mengetahui cara mengakhiri siklus kekerasan:

  1. Curhat pada seseorang

Berbicara dengan teman atau anggota keluarga yang tepercaya dapat membantu korban melihat dan memverifikasi pola perilaku yang mungkin mengindikasikan kekerasan. Ini juga dapat membantu korban menemukan tempat yang aman untuk dituju saat korban berada dalam tahap ketegangan dan insiden.

  1. Mencari bantuan profesional

Seorang profesional di bidang kesehatan mental dapat membantu korban mengatasi tantangan hubungan dan mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan. Mereka juga dapat mendukung korban dalam menumbuhkan pikiran dan pola perilaku baru yang dapat mengarah pada keterampilan mengatasi masalah. Seorang profesional kesehatan mental juga dapat memberi korban sumber daya dan rencana keselamatan untuk keluar dari situasi yang tidak aman. Profesional yang dapat membantu korban antara lain konselor, psikolog, atau psikiater.

  1. Membangun kembali kepercayaan diri

Korban memiliki hak untuk berada dalam hubungan yang aman dan saling menghormati. Korban mungkin tidak merasa seperti itu saat ini, atau ia mungkin berpikir tidak akan "menemukan seseorang atau sesuatu yang lebih baik." Inilah yang mungkin diinginkan oleh pelaku dan suka mengontrol agar korban percaya, sehingga mereka dapat menggunakan kekuasaan atas korban. Wajar jika kepercayaan diri korban terpengaruh karena pengalaman kekerasan yang telah dilalui.

  • Korban dapat mencoba kembali melakukan aktivitas yang memberinya kegembiraan dan kepercayaan diri.
  • Pertimbangkan untuk berhubungan dengan keluarga atau teman yang sudah lama tidak ditemui.
  • Berinvestasi dalam pendidikan, meskipun informal, dapat membantu korban merasa berdaya.
  • Jika korban mengalami kecemasan atau depresi, maka perlu segera mencari bantuan profesional.
  • Mencoba untuk meluangkan waktu melakukan teknik relaksasi yang dapat melindungi kesehatan mental korban.
  1. Mencari intervensi dari luar

Tidak semua situasi kekerasan yang dialami setiap orang sama. Korban mungkin merasa tidak aman untuk mengakhiri siklus kekerasan itu sendiri, dan itu tidak apa-apa. Korban tidak sendirian dan bantuan tersedia. Perempuan dan anak korban kekerasan dapat menghubungi Hotline UPT PPA Provinsi Jawa Timur 0895-3487-71070 atau Layanan Kementerian PPPA Call Center SAPA 129 atau WA 08111-129-129 untuk mendapatkan layanan bagi korban kekerasan.