Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jatim bersama Tim Penggerak (TP) PKK Jatim mengadakan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Mitra dan Organisasi Kemasyarakatan dalam Upaya Penguatan Ketahanan Keluarga dan Pencegahan Perkawinan Anak. Kegiatan ini diadakan dengan konsep Fokus Group Discussion (FGD).
Tak lupa, Kepala DP3AK Jatim, Restu Novi Widiani, menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ibu Ketua Tim Penggerak PKK Arumi Bachsin Elestianto Emil Dardak yang dalam ini diwakili Ketua Pokja I Tim Penggerak PKK, Fitri Bobby Soemiarsono.
Restu Novi menjelaskan, anak merupakan amanah dan anugrah Allah SWT, sehingga wajib dilindungi, dijaga dengan baik dipenuhi haknya agar dapat tumbuh berkembang dengan baik dan sempurna.
Sedangkan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak maka wajib dicegah bersama- sama, bersinergi, berkolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan.
Anak-anak yang menjadi subyek dan obyek dalam permasalahan perkawinan, perlu ditingkatkan kapasitasnya terutama dalam proses pengasuhan yang baik dan juga dapat berperan sebagai agen perubahan. Artinya, sebagai pelopor dalam menyelesaikan permasalahan perkawinan anak serta berkontribusi memberikan pencerahan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Menurut data dari pengadilan tinggi agama Surabaya, angka dispensasi kawin di Jatim mengalami tren penurunan selama tiga tahun berturut turut, yaitu tahun 2020 ada sebanyak 17.214 kasus, tahun 2021 sebanyak 17.151 kasus dan tahun 2022 sebanyak 15.095 kasus atau turun 11,99%.
Penyebab terjadinya perkawinan anak adalah ekonomi dan kemiskinan. Beberapa masyarakat yang kurang beruntung terutama di pedesaan dengan mengawinkan anaknya sesegera mungkin dianggap akan dapat mengurangi beban ekonomi keluarga.
Pendidikan, rendahnya pendidikan dan tingginya angka dropuout sekolah yang tidak mencapai wajib belajar 12 tahun merupakan salah satu pemicu perkawinan anak, ketidakadilan gender, banyak anak-anak perempuan yang terpaksa harus kawin di usia dini karena dianggap perempuan hanya akan berperan sebagai ibu rumah tangga tidak perlu pendidikan yang tinggi.
Dikatakannya, ada beberapa pendampingan dan advokasi, antara lain jika belum lulus sekolah maka perlu pendampingan agar mereka dapat menamatkan sekolahnya. Selain itu jika menurut umur secara fisik organ reproduksinya belum siap maka peran penyuluh KB untuk mendampingi dan mengadvokasi tentang perencanaan kehidupan keluarga supaya tidak terjadi 4 terlalu (terlalu tua, terlalu sering, terlalu muda dan terlalu dekat jarak kehamilan).
Jika tidak memiliki keterampilan untuk bekerja dan berumahtangga maka perlu dibekali ketrampilan agar bisa hidup mandiri, jika secara mental dan emosi belum stabil perlu pendampingan, konseling, dan advokasi tentang kedewasaannya. (her/s)