Keaktifan dan kesungguhan kader posyandu menjadi salah satu ujung tombak penurunan angka stunting di Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh salah satu desa di Kabupaten Sidoarjo, yaitu Desa Sruni Kecamatan Gedangan yang berhasil menurunkan angka stunting dari 29 persen pada tahun 2020 menjadi tinggal 8 persen di tahun 2022 ini.
"Kami aktif mendatangi rumah-rumah warga yang tidak aktif ke posyandu," kata Yayuk Rahmawati, Kader Posyandu di Desa Sruni Kecamatan Gedangan Sidoarjo saat acara Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu dan PKK dalam Upaya Percepatan Penurunan Angka Stunting di Balai Desa Sruni, Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo, Senin (31/10).
Yayuk menjelaskan, saat dirinya mendapat data kunjungan dan kehadiran balita, maka dia mendatangi keluarga yang kehadiran ke posyandu rendah. Dari kunjungan tersebut dapat ketehui apa penyebab dari rendahnya keaktifan keluarga untuk membawa baduta dan balita ke Posyandu.
"Kunjungan yang saya lakukan khususnya ke keluarga yang tidak aktif kehadirannya di posyandu dengan kondisi balita atau baduta yang kondisi kesehatan yang memang membutuhkan perhatian dan pendampingan khusus karena masuk kedalam kategori resiko stunting," jelas Yayuk yang juga merupakan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) keterwakilan Perempuan di Desa Sruni ini.
Setelah mendatangi rumah ke rumah dan memberikan penjelasan akan pentingnya kehadiran ke posyandu, maka angka kunjungan meningkat. Dengn demikian keluarga yang berisiko stunting langsung dilakukan pendampingan sehingga balita atau baduta tersebut bisa terlepas dari resiko stunting.
Yayuk menambahkan salah satu penyebab keluarga berisiko stunting bukan karena faktor ekonomi tetapi lebih kepada rendah pengetahuan orang tua akan asupan gizi bagi baduta dan balita mereka. Selain itu, keengganan keluarga untuk hadir ke posyandu sehingga informasi akan pola asuh dan asupan gizi kurang.
"Setelah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hadir ke posyandu, kami pun melatih kader untuk membuat kegiatan di posyandu menyenangkan dan tidak membosankan. Sehingga angka kehadiran baduta dan balita di posyandu bisa terpenuhi semaksimal mungkin," imbuhnya.
Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo, Dr Fenny Afridawati, mengatakan berdasarkan hasil bulan timbang tahun 2020 persentase stunting di desa Seruni sebesar 29%, sedangkan hasil bulan timbang tahun 2022 persentase stunting sebesar 8%.
Adapun upaya yang dilakukan untuk penurunan stunting di wilayah Kecamatan Gedangan kKhususnya Desa Seruni ada enam poin. Pertama, hasil pengukuran tinggi badan dan penimbangan oleh kader, divalidasi oleh Petugas Puskesmas dan bidan desa. Didapatkan hasil validasi tidak sesuai, hal ini disebabkan cara perhitungan umur, cara pengukuran dan penimbangan oleh kader serta alat antropometri yang dipergunakan tidak sesuai standar.
Kedua, menggunakan alat antropometri sesuai dengan standar bekerja sama dengan petugas puskesmas. "Ketiga, penggunaan dana APBDes untuk penanganan stunting, yaitu Pengadaan alat antropometri, Pelaksanaan aktif pos gizi, KP ASI, pembinaan desa siaga aktif, dan pengadaan vitamin bagi balita stunting," tambah Dr Fenny.
Keempat, jelas Dr Fenny, mendapatkan alokasi alat pengukuran tinggi badan, pemberian PMT (lokal dan pabrikan), dan obat gizi (vitamin) dari dinas kesehatan. Poin kelima, pendampingan kader untuk ibu hamil risiko tinggi dan pendampingan kader untuk balita stunting dari Puskesmas (Dana APBN ). Dan yang terakhir, keenam, adalah menyelenggarakan pelatihan penyegaran kemampuan kader dalam pemantauan tumbuh kembang oleh Puskesmas (Dana APBD).
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur, Maria Ernawati, menambahkan formulasi program percepatan dalam penurunan stunting mengarah pada intervensi berbasis keluarga berisiko stunting dengan menekankan pada penyiapan kehidupan berkeluarga, pemenuhan asupan gizi, perbaikan pola asuh, peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan dan peningkatan akses air minum dan sanitasi.
Adapun data stunting, tambahnya, dapat diperoleh dari penimbangan bulanan dan juga survey, sehingga akan memunculkan angka yang perbeda dari sistem pengambilan data yang berbeda. "Tidak masalah tergantung dari kita mau menggunakan yang mana tetapi dasar atau prinsip pengumpulan data itu yang harus dipahami," katanya.
Erna menambahkan EPPGBM adalah Elektonik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat dan SSGI adalah Survey Satus Gizi Indonesia EPPGM menggambarkan data hasil seluruh balita yang timbang di Posyandu.
"Jadi bisa menggambarkan data per desa bahkan perposyandu ber by name sedangkan SSGI berdasarkan survey diambil sasaran secara rundown sumpling jadi digunakan untuk menggambarkan data kabupaten tidak bisa mejadi data desa atau posyandu. Saat ini masih digunakan data SSGI karena tidak semua kabupaten Kota bisa mangupload minimal 80 persen balitanya," pungkasnya.