GENDER DAN PERJALANAN INDONESIA MENUJU KESETARAAN
Sudahkah anda menonton film Laskar Pelangi dan Dilan 1990? Tahukah anda jika kedua film tersebut secara tidak langsung menggambarkan perjalanan pembangunan manusia berbasis gender di Indonesia?
Film Laskar Pelangi dan Dilan 1990, merupakan film yang mengambil tema pendidikan atau lebih tepatnya kisah tentang anak sekolah. Meski berada pada setting waktu yang berbeda, kedua film menggambarkan pendidikan di Indonesia pada masanya. Tidak hanya itu, alur film didukung berdasarkan kisah nyata atau true story, yang tentu tidak salah jika menyebut gambaran pendidikan Indonesia sedikit banyak dikonstruksi kembali oleh kedua film tersebut. Lalu apa kaitannya film Laskar Pelangi dan Dilan 1990 dengan pembangunan manusia di Indonesia? Berikut penjelasannya.
Ketidaksetaraan Gender di Indonesia
Ada hal yang perlu diluruskan, sebelum akhirnya berpindah ke-ranah isu ‘kesetaraan gender’, yakni pemahaman tentang gender itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pemahaman mengenai gender seringnya salah kaprah di masyarakat. Gender, seringkali dikaitkan dengan jenis kelamin. Padahal, gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda. Jenis kelamin mengacu pada kondisi fisik yang secara lahiriah dimiliki oleh seseorang. Sedangkan gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Lalu, kondisi apa yang menyebabkan ketidaksetaraan gender? Yakni adanya perbedaan perlakuan yang diterima antara laki-laki dan perempuan di masyarakat berdasarkan alasan gender.
Pada Film Laskar Pelangi yang mengambil latar waktu tahun 1970-an, anda akan disuguhkan cerita 10 pelajar di SD Muhammadiyah Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berjuang mengeyam pendidikan di tengah kondisi ekonomi dan situasi sekolah yang tidak pasti. Namun menarik diperhatikan bahwa hanya ada satu anak perempuan bernama Sahara yang terdaftar sebagai siswa di sekolah tersebut, ke-9 lainnya adalah anak laki-laki. Hal ini menunjukkan, terpuruknya kualitas hidup perempuan saat itu yang ditandai dengan rendahnya akses pendidikan mereka dibanding laki-laki. Alasannya, dalam budaya Indonesia, perempuan lebih diarahkan untuk melakukan peran domestik dari pada peran publik. Misalnya saja pelarangan perempuan untuk bersekolah karena adanya pelabelan “sumur, dapur, kasur” sebagai tempat dimana perempuan seharusnya berada. Hal ini mengakibatkan ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap perempuan kerap terjadi sehingga akses dan peran mereka dalam berbagai sektor terhambat. Disaat itu pula, belum ada kebijakan pemerintah yang menangani khusus masalah kesetaraan gender.
Membaiknya Kualitas Hidup Perempuan
Hadirnya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adopsi PBB tahun 1979 untuk melindungi hak-hak perempuan yang disahkan pada tanggal 3 September 1981, menjadikan Indonesia 1 dari 189 negara yang menandatangani hasil konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980. Baru kemudian di tanggal 13 September 1984, Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women). Keterlibatan Indonesia pada isu-isu global mempengaruhi arah kebijakan pemerintah dalam pembangunan khususnya pembangunan manusia di berbagai sektor. Hal tersebut pelan-pelan mempersempit kesenjangan kesempatan antara laki-laki dan perempuan serta meningkatkan kualitas hidup keduanya. Salah satu contohnya, adalah bertambahnya perempuan yang mengeyam pendidikan. Dalam Film Dilan 1990, dengan perbedaan latar waktu 20 tahun dari Laskar Pelangi, representasi perempuan yang bersekolah digambarkan cukup banyak. Kita dengan mudahnya melihat Milea dan perempuan-perempuan lain mengenakan seragam sekolah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kualitas hidup perempuan dalam hal akses terhadap pendidikan semakin membaik.
Sebagai langkah nyata pemerintah dalam melaksanakan percepatan dan pemerataan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia, isu pengarusutamaan gender tertuang dalam visi pembangunan nasional melalui penghapusan diskriminasi gender. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencantumkan sasaran pembangunan perspektif gender yaitu peningkatan kualitas hidup perempuan, peningkatan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan, pengintegrasian perspektif gender di semua tahapan pembangunan, dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender, baik di level pusat maupun daerah.
Meningkatnya IPM Indonesia
Kualitas hidup sangat erat kaitannya dengan pembangunan khususnya pembangunan manusia. Dimana indikator untuk mengukur kualitas pembangunan manusia adalah terpenuhinya kebutuhan dasar dalam hal kesehatan, pendidikan dan perekonomian. Dari film Laskar Pelangi dan Dilan 1990, kita bisa melihat sekilas bahwa pembangunan manusia di Indonesia mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, terlebih dalam konteks kekinian. Lihat saja masa depan dari Milea dalam film Dilan 1990 dan Ikal dalam film Laskara Pelangi, mereka kemudian digambarkan memiliki kualitas hidup yang baik ditandai dengan kesuksesan dalam hal finansial, karir dan pendidikan.
Secara kuantitatif, membaiknya kualitas hidup ditandai dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baik pada laki-laki maupun perempuan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah sebuah model statistik yang diperkenalkan United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990, untuk mengukur kualitas hidup suatu wilayah. IPM sebagai suatu indeks disusun dari 3 (tiga) dimensi yakni; (1) Dimensi Kesehatan yang diwakili oleh Angka Harapan Hidup Saat Lahir; (2) Dimensi Pendidikan yang diwakili oleh 2 Indikator yakni angka Harapan Lama Sekolah (HLS) dan angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS); dan (3) Dimensi Standar Hidup Layak (SHL) yang diwakili oleh indikator PNB Perkapita.
Berdasarkan laporan Human Development Report (HDR) yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2016, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2015 berada pada level sedang dengan capaian IPM sebesar 68,9 atau berada di peringkat 113 dari 188 negara. IPM Indonesia meningkat 0,3 poin atau sebesar 0,44 persen dari tahun 2014. Capaian tersebut sebenarnya bukan suatu kebanggan mengingat fakta bahwa IPM Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia (71,7) dan setingkat Asociation of Southeast Asian Nations (ASEAN) berada antara peringkat 5-6 untuk masing-masing indikator penyusunan IPM tersebut (UNDP, 2016). Oleh karena itu, dibutuhkan usaha ekstra bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia dari berbagai sisi agar menjadi Negara di kelomok pembangunan manusia level tinggi.
Menurunnya IPG 2016
Angka IPM laki-laki dan IPM perempuan sama-sama mengalami peningkatan dalam tujuh tahun terakhir. Sejak tahun 2010 hingga sekarang, IPM laki-laki termasuk kategori “tinggi” yakni pada level di atas 70 dan perempuan berada pada level “sedang”. Artinya, kualitas hidup laki-laki dan perempuan semakin membaik. Hal ini diperkuat dari hasil penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015-2016 yang menunjukkan IPM perempuan naik sebesar 0,69 persen dari angka 66,98 menjadi 67,44. Sedangkan IPM laki-laki naik sebesar 0.92 persen dari angka 73,58 menjadi 74,26.
IPM mengukur capaian pembangunan manusia di suatu wilayah secara umum, sehingga disparitas atau perbedaan jarak antara IPM laki-laki dan perempuan tidak terlihat. Untuk melihat capaian pembangunan manusia yang terpilih gender, UNDP memperkenalkan sebuah ukuran yakni Indeks Pembangunan Gender (IPG). Pada tahun 2010, penghitungan IPM mengalami perubahan dengan menggunakan metode baru, sehingga berdampak pada perubahan penghitungan IPG. Saat ini, IPG diformulasikan sebagai rasio antara IPM Perempuan dan IPM Laki-laki. Nilai IPG dapat digunakan sebagai bahan analisis perbandingan kualitas pembangunan perempuan dan laki-laki. Semakin dekat angka IPG ke 100, maka semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, IPM Indonesia baik laki-laki maupun perempuan dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mengalami peningkatan termasuk di tahun 2016. Paradoksnya, IPG Indonesia pada tahun 2016 justru mengalami penurunan. Hasil pengukuran Kementerian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan BPS menunjukkan capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia pada tahun 2016 sebesar 90,82 atau mengalami penurunan sebesar 0,21 poin atau 0,23 persen dari tahun sebelumnya dimana IPG tahun 2015 sebesar 91,03.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal IPM laki-laki dan perempuan meningkat? Meningkatnya IPM laki-laki dan perempuan tidak lantas membuat angka IPG ikut meningkat. Perumpaan sederhananya seperti ini, kembali ke Film Laskar Pelangi, meski di film tersebut representasi perempuan dan laki-laki sama-sama bersekolah, namun siapa yang akhirnya bersekolah hingga perguruan tinggi bahkan sampai ke luar negeri? Ya, Ikal, seorang laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi sekolah pada perempuan lebih lambat dibandingkan laki-laki atau terjadi kesenjangan.
Menurut data yang dikeluarkan BPS, Selama tahun 2010-2015, kecepatan pertumbuhan IPM perempuan selalu lebih besar dibandingkan IPM laki-laki. Hal tersebut menyebabkan IPG selalu naik setiap tahunnya. Namun, berbeda halnya dengan yang terjadi di tahun 2016, IPM perempuan tumbuh sebesar 0,69 persen. Pertumbuhan tersebut nyatanya kalah cepat dengan IPM laki-laki yang tumbuh sebesar 0,92 persen. Hanya komponen rata-rata lama sekolah yang pertumbuhannya lebih baik dari tahun sebelumnya. Kontras dengan Angka Harapan Hidup (AHH), Harapan lama Sekolah (HLS) dan Pengeluaran perkapita yang justru mengalami perlambatan dibandingkan tahun 2015. Komponen HLS lah yang menjadi penyebab utama perlambatan IPM perempuan. HLS perempuan bahkan hanya tumbuh sebesar 0,87 persen, yang turun cukup signifikan dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 2,27 persen. Pertumbuhan perempuan yang melambat ini kemudian menjadi faktor penyebab turunnya IPG pada tahun 2016.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, luas dan besarnya cakupan kesetaraan gender dalam berbagai bidang pembangunan, sangat membutuhkan sinergitas antar K/L, pusat-daerah, dan antar daerah juga berperan besar untuk meningkatkan daya ungkit pembangunan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, termasuk SDGs, secara merata dan adil. “Mari bersama-sama meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak melalui strategi pengarusutamaan gender guna mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai dimensi pembangunan," ujar Menteri Yohana Yembise.