PEMBANGUNAN GENDER, DAN HAL-HAL YANG (BELUM) SELESAI
Pernah dengar ungakapan “belajarlah sampai ke negeri Cina? Gambaran tersebut, diibaratkan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang baik penduduk Indonesia harus belajar di negara lain. Memang tidak semiris itu, namun faktanya kita tidak dapat menutup mata jika pendidikan di Indonesia masih berada pada level sedang, jika dibandingkan dengan Negara-negara lain di dunia. Tapi tau kah anda, rata-rata penduduk di Indonesia bersekolah berapa lama? Hanya sampai setingkat kelas 7 Sekolah Menengah Pertama (SMP)!
Hasil penghitungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kerjasama BPS (2017) menunjukkan, capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia tahun 2016 sebesar 90,82 atau mengalami penurunan sebesar 0,21 poin atau 0,23% dari tahun sebelumnya sebesar 91,03. Padahal, selama tahun 2010-2015, IPG selalu mengalami peningkatan. Semakin dekat angka IPG ke 100, maka semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Ada banyak hambatan dalam implementasinya yang dihadapi sehingga angka IPG Indonesia menurun, salah satunya adalah pendidikan.
Menurunnya IPG Indonesia tahun 2016 berasal dari pertumbuhan komponen IPM perempuan yang lambat dibandingkan dengan laki-laki, terutama pada komponen harapan lama sekolah (HLS). Di Indonesia, HLS menghitung harapan penduduk dari usia 7 tahun ke atas dalam memperoleh pendidikan. Harapan lama sekolah menggambarkan keberhasilan pembangunan pendidikan jangka pendek. Dalam film Laskar Pelangi, pada awal cerita, anda akan disuguhkan kondisi sekolah SD Muhammadiyah Gantung, Belitung yang akan ditutup karena kekurangan satu orang siswa apabila tidak genap 10. Artinya saat itu, kurang lebih ada 9 orang anak yang harapannya untuk dapat bersekolah, terancam gagal. Realitasnya saat ini, harapan lama sekolah anak-anak Indonesia masih rendah jika dibandingkan negara lain di ASEAN. Kondisi infrastruktur dan sarana prasarana menjadi contoh faktor yang dapat mempengaruhi harapan lama sekolah (HLS) seorang anak.
Data Human Development Report (HDR) 2016 menunjukkan, Indonesia hanya berada di urutan 5 setingkat ASEAN dalam capaian komponen harapan lama sekolah (HLS) IPM tahun 2015. Seorang anak (tanpa melihat gender) di Indonesia, kemungkinannya dapat bersekolah hanya selama 12,9 tahun. Dengan kata lain, harapan seorang anak di Indonesia dapat mengenyam pendidikan kira-kira hingga lulus SMA atau masuk perguruan tinggi semester awal saja. Sedangkan Singapura menempati peringkat 1 di level ASEAN, dengan harapan lama sekolah seorang anak di sana mencapai 15,4 tahun atau hampir lulus setingkat perguruan tinggi. Maka tidak heran jika akhirnya banyak orang Indonesia mengimpikan bersekolah atau kuliah di luar negeri terutama negara maju.
Jangankan bermimpi bisa bersekolah di luar negeri, tidak jarang kita mendengar ada anak yang bercita-cita ingin sekolah di luar daerah asalnya. Bisa jadi karena kondisi di daerahnya tidak memungkinkan ia dapat bersekolah lebih lama. Misalnya dalam Film Laskar Pelangi, para siswa SD Muhammadiyah Gantung yang berada di Kecamatan Gantung Belitung Timur, dianjurkan harus pergi ke ibu kota kabupaten atau daerah lainnya untuk bisa melanjutkan sekolah setingkat SMP, karena di daerahnya belum ada fasilitas sekolah setingkat sekolah menengah. Faktanya, Provinsi Kep. Bangka Belitung tahun 2016 menjadi daerah dengan angka harapan sekolah penduduknya hanya sebesar 11,71 tahun. Terendah kedua, setelah Provinsi Papua sebesar 10,23 tahun. Yogyakarta menjadi provinsi dengan AHH paling tinggi sebesar 15,23 tahun, kemudian menyusul berurutan adalah Provinsi Aceh 13,89 tahun, Sumatera Barat 13,79 tahun.
Itu baru fakta harapan penduduk Indonesia bisa sekolah. Mari bandingkan dengan kenyataan sebenarnya lewat angka rata-rata lama sekolah (RLS). Berdasarkan laporan Human Development Report (HDR) yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2016, Rata-rata seseorang bersekolah di Indonesia tahun 2015, hanya selama 7,9 tahun, yang hitungannya bahkan hanya sampai kelas 8 atau belum lulus setingkat sekolah menengah pertama (SMP). Jauh tertinggal jika kembali dibandingkan dengan Singapura yang lama sekolah penduduknya rata-rata adalah 11,6 tahun atau kurang lebih bersekolah hingga kelas 12 setingkat sekolah menengah atas (SMA).
Sekarang kita kerucutkan dengan melihat capaian pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Secara data menunjukkan ketimpangan lama sekolah antara perempuan dan laki-laki memang terjadi di Indonesia. Data Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2017 menunjukkan, tahun 2016, rata-rata lama penduduk perempuan sekolah hanya selama 7,5 tahun. Cukup berbeda jika dibandingkan dengan laki-laki yang bersekolah selama 8,41 tahun. Artinya, perempuan di Indonesia rata-rata bersekolah hanya sampai kelas 8 (SMP). Sedangkan secara rata-rata, laki-laki mengenyam pendidikan sekitar 1 tahun lebih lama dibandingkan perempuan atau hingga kelas 9 (SMP). Tetap saja, faktanya rata-rata penduduk Indonesia bahkan tidak lulus setingkat SMP.
Ketimpangan pendidikan juga dirasakan oleh penduduk satu daerah dengan daerah lainnya, misalnya antara Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Papua. Sesuai dengan data Pembangunan Manusia Berbasis gender 2017, DKI Jakarta pada tahun 2016 menjadi provinsi dengan rata-rata penduduknya bersekolah paling lama baik perempuan maupun laki-laki. Rata-rata lama sekolah perempuan di Jakarta mencapai 10,42 tahun, atau mengenyam pendidikan hingga kelas 11 SMA dan laki-laki mencapai 11,34 tahun atau hingga kelas 12 SMA. Bandingkan dengan Provinsi Papua. Papua menjadi provinsi dengan rata-rata lama sekolah paling rendah, baik laki-laki maupun perempuan. Rata-rata perempuan di Papua hanya mengenyam pendidikan selama 5,32 tahun atau tidak menamatkan sekolah dasar (SD), sedangkan penduduk laki-laki kondisinya sedikit lebih baik dengan bersekolah selama 6,90 tahun atau minimal menamatkan SMP. Capaian tersebut bahkan lebih rendah dari angka rata-rata lama sekolah secara nasional.
Perbedaan capaian rata-rata lama sekolah antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi banyak faktor yang saling terkait, salah satunya adalah budaya. Budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia menyebabkan anak perempuan lebih dikesampingkan untuk mendapatkan pendidikan dibandingkan anak laki-laki. Meski demikian, setidaknya perempuan semakin sadar untuk mengakses pendidikan dan bersekolah, yang ditunjukkan dari angka rata-rata lama sekolah pada perempuan tahun 2016 meningkat sebesar 2,04 dari tahun sebelumnya. Pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai penyelenggara negara perlu melakukan upaya-upaya serius untuk menyelesaikan masalah-masalah diatas, terutama mendongkrak keberhasilan pembangunan pendidikan bukan hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang. Mendorong pemenuhan hak anak atas pendidikan sesuai dengan Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak, dan menyukseskan agenda Nawa Cita pemerintahan Jokowi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dari segi pendidikan. (ach).