Bullying dan Dampaknya : Pola Interaksi Sosial yang Tak Wajar
oleh Ajeng H. Puspitasari, M.Psi, Psikolog
Perkawinan merupakan sebuah bentuk hubungan yang bersifat permanen antara laki – laki dan perempuan yang terikat peraturan perkawinan dan diakui keabsahannya oleh masyarakat maupun negara. Perkawinan sejatinya dilakukan oleh laki – laki dan perempuan dalam tujuan yang positif, yakni membangun keluarga, meneruskan keturunan, dan dilandasi dengan kematangan fisik, psikologis, serta sosial. Di Indonesia sendiri, perkawinan diatur dalam Undang – undang No 16 Tahun 2019 tentang perkawinan yang mana salah satu pasalnya mengatur tentang usia minimal seseorang diizinkan menikah. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 berbunyi bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. 19 tahun dianggap sebagai usia dimana manusia di kategorikan dalam tahap perkembangan dewasa, sedangkan rentang usia 0 – 18 tahun, seorang manusia masih tergolong dalam kategori rentang usia anak.
Meskipun telah ada regulasi yang mengatur tentang usia minimal menikah, namun prakteknya masih banyak perkawinan yang dilakukan pada usia dibawah 19 tahun. Perkawinan yang terjadi sebelum usia minimal yang disyaratkan menurut undang – undang disebut sebagai perkawinan anak. Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia menjadi sebuah fenomena yang patut mendapatkan sorotan dan penanganan khusus. Data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 menunjukkan bahwa 1 dari 9 perempuan berusia anak telah menikah. Sedangkan, perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2019 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada 10 besar negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menjadi tiga provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Jumlah perkawinan anak khususnya di Jawa Timur pada tahun 2019, sebanyak 19.211 kasus, sedangkan pada tahun 2020 sebanyak 9453 kasus perkawinan anak.
Perkawinan anak di dilatarbelakangi oleh multi faktor, baik faktor struktural maupun faktor yang berasal dari kapasitas individual, komunitas, maupun sosial-budaya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) pada tahun 2020 mengemukakan beberapa sebab utama terjadinya perkawinan anak diantaranya : bahwa anak perempuan memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk menjalani perkawinan di usia anak dibandingkan dengan anak laki – laki; anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi lemah; anak yang berasal pedesaan atau lingkungan kumuh; anak putus sekolah dan memiliki pendidikan rendah; serta anak yang terlibat pergaulan bebas dan kehamilan pra nikah menjadi faktor – faktor utama penyebab tren perkawinan anak.
Pergaulan bebas dan kehamilan pra nikah memberikan sumbangsih sebagai faktor penyebab perkawinan usia anak. Meskipun bukan merupakan faktor penyebab dengan angka terbesar, namun jumlah perkawinan anak akibat kehamilan pra nikah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mengemukakan bahwa 97% permohonan dispensasi nikah yang dilakukan karena salah satu calon pengantin belum cukup umur, disebabkan karena kehamilan pra nikah. Tentunya kenyataan ini dapat berpotensi menjadi permasalahan yang lebih rumit di kemudian hari.
Kehamilan pra nikah saat ini sudah menjadi hal yang umum terjadi di kalangan remaja bahkan anak – anak yang berusia lebih muda. Kehamilan pra nikah erat kaitannya dengan lunturnya nilai budaya dan moral yang merujuk pada perilaku seks bebas. Perilaku seks bebas dapat dilakukan karena berbagai latar belakang, baik atas dorongan secara fisik dan mental. Faktor fisik menjadi penyebab paling dominan, mengapa perilaku seks bebas banyak dilakukan oleh remaja bahkan anak, adanya perubahan fisik akibat pubertas yang terjadi pada tahap awal rentang usia remaja memulai ketertarikan secara seksual dan relasi dengan lawan jenis. Pubertas menandai perkembangan organ – organ seksual manusia mulai matang dan siap untuk bereproduksi, sekresi hormon saat pubertas mengenalkan remaja pada dorongan seksual untuk pertama kali.
Sebab lain mengapa remaja melakukan perilaku seks bebas karena remaja sedang berada dalam fase membentuk karakteristik diri menjadikannya identik dengan rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengeksplorasi hal – hal yang baru. Usia remaja juga identik dengan keinginan untuk diterima secara sosial oleh lingkungan sekitarnya, dimana seseorang tersebut akan meniru perilaku sosial yang dianggap sebagai tren. Peran orangtua dalam pengasuhan turut menjadi faktor penting dalam pola perilaku seksual remaja. Fungsi orangtua sebagai kontrol atas gejolak emosi remaja, menanamkan nilai moral agama dan sosial memberikan pedoman pada remaja dalam berperilaku membangun kemampuan anak dalam menseleksi perilaku yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya. Remaja wanita yang melakukan perilaku seks pra nikah cenderung memiliki ketergantungan secara emosi terhadap lawan jenisnya, sehingga lebih mudah untuk di manipulasi. Kelekatan emosi antara remaja perempuan dengan figur ayah dapat meminimalkan dependensi emosi.
Kehamilan pra nikah memiliki dampak yang negatif, utamanya bagi remaja perempuan. Perasaan cemas, rendah diri, takut dan depresi akibat kehamilan tanpa kesiapan mental menjadi keluhan yang paling sering ditemukan. Adanya sanksi sosial dalam bentuk pengasingan sosial, putus sekolah bagi remaja perempuan, dan aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan merupakan resiko nyata yang di hadapi. Secara fisik, kehamilan di pra nikah di usia remaja dapat menyebabkan kecacatan janin, kerusakan sistem reproduksi, dan memperbesar resiko penyakit menular seksual. Menikahkan anak remaja yang terlanjur hamil bukan merupakan sebuah solusi yang efektif. Ketidaksiapan mental yang dialami pasangan menikah dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga, disharmonisasi pasangan suami istri, kualitas hidup keluarga yang rendah, meningkatnya stunting dan lain lain sebagainya.
Pencegahan kehamilan pra nikah perlu melibatkan berbagai peranan, baik orangtua, keluarga, sekolah/institusi pendidikan, maupun komunitas dan masyarakat. Penerapan pola asuh yang tepat dengan membangun kelekatan emosi yang positif antara orangtua dan anak menjadi upaya yang paling utama dalam menguatkan fungsi kontrol orangtua terhadap anak. Orangtua yang dapat memberikan pemenuhan afeksi dan atensi pada anak membuat anak menjadi lebih mudah untuk terbuka dalam membicarakan kesulitan – kesulitan yang dihadapinya sehingga anak akan lebih mudah untuk diarahkan pada perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat. Memberikan seks edukasi kepada anak sesuai dengan tahapan usianya diperlukan agar anak memahami dan memiliki integritas diri, mencegah anak dari perilaku seksual beresiko serta pelecehan seksual. Bimbingan dari guru dan sekolah menjadi salah satu upaya pencegahan perilaku seks bebas dan kehamilan pra nikah di institusi pendidikan. Sedangkan masyarakat memiliki peranan preventif dan represif melalui penertiban peraturan dan kontrol sosial.