Oleh Aghnis Fauziah, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Apa Bunda pernah melihat anak bunda menangis sejadi-jadinya, berteriak-teriak, atau menjerit-jerit, bahkan memukul atau menendang jika menginginkan sesuatu? Jika iya, kemungkinan besar anak Bunda saat itu sedang tantrum.
Tantrum merupakan hal yang normal untuk usia 15-36 bulan (batita). Anak-anak pada usia tersebut memiliki keinginan yang sangat kuat terhadap berbagai hal. Namun, mereka belum memiliki kapasitas korteks bagian depan (dalam otak) yang memadai supaya mereka dapat mengendalikan dirinya ketika mereka marah.
Tapi Bunda tidak perlu khawatir, karena sebenarnya tantrum dapat dihindari. Anak akan sering tantrum ketika ia merasa lemah tak berdaya, sedangkan anak yang merasa memiliki beberapa kendali terhadap hidupnya memiliki sedikit tantrum. Anak yang lelah, mengantuk, dan lapar tidak memiliki sumber tenaga untuk mengatasi frustasinya, oleh karena itu Bunda dapat mengatur rutinitas anak Bunda sehingga ia tidak sampai marah saat ia ngantuk, lelah, dan lapar. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik dari mengobati.
Di bawah ini adalah beberapa cara untuk mengatasi tantrum pada batita:
- Tantrum sering terjadi saat anak lelah, mengantuk, dan lapar, maka cegahlah.
Cara mencegah sebagian besar tantrum dan rengekan pada anak adalah dengan mengutamakan waktu makan dan tidur siang, tegakkan waktu tidur, tekankan untuk beristirahat, sediakan waktu yang tenang damai tanpa stimulasi media apapun. Belajarlah untuk berkata tidak pada diri sendiri. Jangan menumpuk tugas dibelakang. Misalnya dengan membawa anak yang lapar atau lelah ke supermarket. Bunda dapat menundanya besok.
“Mama kira kita gak bisa belanja banyak sekarang. Kita cuma beli susu dan roti aja ya, terus pulang. Ini biskuitnya bisa adik makan sambil kita ngantri di kasir.”
- Pastikan bahwa anak telah menerima cinta dan perhatian penuh dari Bunda
Anak yang merasa kurang mendapat perhatian, dukungan, dan kasih sayang akan cenderung tantrum. Jika Bunda berpisah sepanjang hari dengan anak, pastikan Bunda menjalin kembali ikatan atau bonding sebelum mengajak anak berbelanja.
- Cobalah untuk mengendalikan tantrum anak sebelum intensitasnya meningkat
Bunda dapat mengatakan bahwa Bunda mengetahui dan menerima kemarahan anak bunda. Jika anak merasa bahwa dirinya dipahami, tantrum tidak akan bertambah kuat intensitasnya. Cobalah untuk mengatakan bahwa Bunda mengetahui dan menerima keinginan anak Bunda sebelum memberikan batasan-batasan.
“Adik pengen jus lagi ya, adik suka banget sama jus?”
(Lihat! Anak mengangguk.) Kemudian berikan batasan.
“Tapi adik juga perlu makan telurnya. Jusnya nanti lagi ya.”
(menjauhkan gelas jus dari pandangan anak) Jika anak meresponnya dengan kemarahan, maka terima dan akui:
“Adik marah banget. Adik benar-benar pengen jus.”
- Hindari perebutan kekuasaan/power
Bunda tidak harus membuktikan bahwa Bunda benar dan anak salah. Anak Bunda sedang menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang memiliki pendapat dan kekuatan sendiri. Ini hal yang tepat. Biarkan anak berkata tidak, namun Bunda harus tanpa kompromi pada hal yang berhubungan dengan keselamatan, kesehatan, dan hak orang lain.
- Ketika anak Bunda marah, ingatlah bahwa kemarahannya merupakan pertahanan dirinya terhadap perasaan yang lebih tidak nyaman, seperti rasa tidak berdaya, takut, sakit hati, sedih.
Jika Bunda dapat membantunya untuk mengenali perasaan yang sesungguhnya dibalik kemarahan yang nampak, maka kemarahannya akan hilang.
“Adik pengen kita tetap di taman bermain..adik sedih dan marah karena kita harus pergi.”
- Ciptakan rasa aman
Biasanya pada titik ini anak akan menangis. Peluklah jika anak mau dipeluk. Tapi jika anak tidak ingin disentuh, maka temani saja didekatnya. Anak perlu tahu bahwa Bunda ada didekatnya dan tetap mencintainya. Tetaplah tenang dan menenangkan. Jangan mencoba untuk memberikan nasihat dulu. Tujuan Bunda adalah menciptakan rasa aman, sehingga anak dapat melepaskan semua perasaan yang muncul. Setelah anak mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan perasaan sedihnya pada Bunda, maka perasaan dan perilakunya akan lebih baik.
Coba kita bayangkan jika kita sedang dilanda kelelahan, kemarahan, dan keputusasaan. Kita akan menginginkan seseorang yang membantu kita untuk dapat melewatinya bersama, menenangkan dan membantu kita untuk tetap terkendali, tetapi setelah kita meluapkan perasaan tersebut dengan menangis.
Setelah Tantrum
Pertama, habiskan waktu bersama anak Bunda untuk menjalin ikatan emosional kembali atau bonding dan membuatnya aman dan tenang. (Bunda tidak membuatnya merasa mendapatkan “reward” terhadap perilaku tantrumnya. Anak perlu mendapatkan ikatan ini sehingga ia tidak akan kembali tantrum. Pastikan anak Bunda cukup mendapatkan waktu kebersamaan ini dengan Bunda, sehingga ia tidak perlu harus tantrum untuk mendapatkannya.)
Kedua, menceritakan apa yang telah terjadi, sehingga anak Bunda dapat memahami dan merefleksikannya, yang mana ini membantu untuk membangun korteks pre-frontal (bagian dalam otak).
“Tadi kan adik senang ya bisa main di taman bermain.. adik gak ingin pulang. Terus waktu mama bilang ini waktunya pulang, adik sedih dan marah. Adik berteriak gak mauu.. terus mukul mama. Mama bilang gak boleh mukul! Adik nangis.. Mama tetap di sini nemenin adik dan sampai adik udah selesai nangisnya..adik sama mama terus pelukan erat..Sekarang adik udah merasa baikan..”